Oleh Ivan divya
Sadar atau tidak, dunia kita telah mengalami
perubahan. Proses tersebut berlangsung secara cepat dan meluas. Di masa lalu,
orang berkomunikasi jarak jauh dengan saling berkirim surat. Akan tetapi, setelah
perkembangan internet dan teknologi, orang beralih menggunakan email dan media
sosial seperti Whatsapp, Line, dan Blackberry Messenger karena lebih cepat
dan efisien. Selain dalam hal berkomunikasi perubahan juga terjadi pada media
pemberitaan. Kegiatan membaca berita awalnya hanya bisa dilakukan dengan
membaca koran, sekarang kegiatan tersebut bisa dilakukan di mana saja dan kapan
saja menggunakan ponsel pintar kita. Perubahan juga terjadi ketika kita
menonton film di televisi. Dari penggunaan Betamax
dan VCD, sekarang berubah menjadi layanan televisi online untuk streaming
film, seperti Netflix.
Berbagai perubahan itulah yang melahirkan suatu
generasi baru yang disebut ”Generasi millennials”.
Generasi ini lahir di antara tahun 1980 sampai 2000. Itu berarti pada saat
tulisan ini dibuat mereka berada pada rentang usia 16 s.d. 37 tahun. Karena
dibesarkan oleh kemajuan teknologi, mereka memiliki ciri-ciri kreatif, mempunyai passion dan produktif. Dibandingkan generasi sebelumnya, mereka
lebih berteman baik dengan teknologi. Oleh karena itu, mereka mampu menciptakan
berbagai peluang baru seiring dengan perkembangan teknologi yang kian mutakhir.
Menurut
data Bappenas pada tahun 2015, jumlah millenneals
di Indonesia sebanyak 84 juta jiwa, sementara jumlah total penduduk berada pada
angka 255 juta jiwa. Berarti 33% dari penduduk Indonesia adalah generasi millennials. Jika dilakukan perbandingan
usia produktif antara 16 s.d. 64 tahun, sebanyak 50% dari penduduk usia
produktif adalah millennials.
Memasuki
tahun 2020, Bangsa Indonesia diperkirakan akan mengalami lonjakan jumlah
penduduk usia produktif (termasuk generasi millennials).
Pertama kali dalam sejarah Indonesia, lonjakan tersebut akan membentuk proporsi
yang biasa kita sebut dengan bonus demografi. Fenomena tersebut terjadi karena
jumlah penduduk produktif melebihi jumlah penduduk tidak produktif.
Bonus
demografi bagaikan pisau bermata dua. Satu sisi mampu memberi manfaat dalam
pembangunan negara karena jumlah penduduk usia produktif lebih mendominasi, di sisi
lain fenomena tersebut juga dapat menjadi petaka karena dapat menyebabkan
berbagai permasalahan sosial seperti pengangguran, kemiskinan hingga
meningkatnya angka kriminalitas.
Tulisan ini dimaksudkan mengajak
generasi millennials untuk optimistis
menghadapi fenomena bonus demografi di Indonesia. Mengapa? Karena generasi ini
memiliki berbagai kelebihan dan potensi untuk mampu bersaing. Bagi generasi millennials, fenomena ini merupakan sebuah
tantangan yang harus dihadapi dengan penuh kesiapan untuk mewujudkan
kemandirian bangsa dalam segala aspek.
Dalam menghadapi fenomena
bonus demografi, akan lebih arif jika kita belajar dari pengalaman bangsa lain
yang pernah mengalami hal yang serupa. Sedikit menengok catatan sejarah, pada
tahun 1950, Jepang juga pernah mengalami fenomena bonus demografi. Pada
saat itu, pemerintah Negeri Sakura memiliki pemahaman bahwa hal tersebut harus
dijadikan prioritas utama, sehingga mereka menyiapkan para pemuda Jepang untuk
memainkan perannya dalam menghadapi hal tersebut. Melalui perencanaan
pembangunan sumber daya manusia khususnya para pemuda, peningkatan mutu pendidikan,
hingga memperbaiki sektor ketenagakerjaan dan kesehatan. Alhasil, mereka
berhasil menjawab tantangan tersebut, sehingga fondasi kemajuan Jepang pun
sudah dimulai sejak tahun tersebut. Berkat kesiapan dan kualitas sumber daya manusia
yang mumpuni, pada tahun 1970, Jepang berhasil menjadi negara dengan kekuatan
ekonomi terbesar ke-3 di dunia.
Saat
ini Indonesia akan mengalami hal yang mirip dengan apa yang terjadi dengan Jepang
pada tahun 1950. Menurut prediksi, fenomena bonus demografi akan mencapai
puncaknya pada tahun 2020 hingga 2030. Pada periode tersebut, sebanyak 70%
penduduk berada pada usia produktif. Hal ini tentunya bisa menjadi keuntungan
bagi negara atau malah sebaliknya.
Berkaca dari paparan data yang
begitu mencengangkan, mampukah kita sebagai generasi millennials menghadapi tantangan ini? Sekaligus mewujudkan
Indonesia yang mandiri? Namun sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu kita
pahami terlebih dahulu siapakah sebenarnya generasi millennials yang digadang-gadang akan memiliki peranan besar dalam
bonus demografi Indonesia pada tahun 2020.
Didasari kehadiran Generation
Theory yang dicetuskan oleh Karl Mannheim pada tahun 1923, generasi manusia dibagi berdasarkan tahun kelahiran dan karakteristik sosiokultural
dengan istilah X, Y, dan Z. Tujuan dari teori ini adalah menciptakan pemahaman
dan keselarasan antargenerasi. Pemahaman ini penting karena setiap generasi
memiliki karakteristik dan kecenderungan masing-masing.
Generasi X yang lahir pada 1965 s.d. 1979 mempunyai karakteristik mampu
beradaptasi, mudah menerima perubahan, loyal, mengutamakan citra, ketenaran,
dan finansial. Berbeda dengan generasi Y alias millennials yang lahir pada 1980 s.d. 2000 mempunyai karakteristik komunikasi yang terbuka, pengguna media sosial yang fanatik, kehidupannya
sangat terpengaruh dengan perkembangan teknologi, lebih terbuka dengan
pandangan politik dan ekonomi, sehingga mereka terlihat sangat reaktif terhadap
perubahan lingkungan yang terjadi di sekelilingnya. Sedangkan yang terakhir
adalah generasi Z, mereka adalah generasi yang lahir pada tahun awal tahun 2000
hingga sekarang, sejak dari lahir, mereka sudah bercengkrama dengan dunia
digital. Namun sebagai catatan, generasi tersebut belum akan banyak berperan pada bonus demografi Indonesia pada 2020.
Menurut Yoris Sebastian dalam
bukunya Generasi Langgas Millennials
Indonesia, ada beberapa keunggulan dari generasi tersebut. Ingin serba
cepat, mudah berpindah pekerjaan dalam waktu singkat, kreatif, dinamis, melek
teknologi, dekat dengan media sosial, dan sebagainya.
Sebuah riset yang dilakukan
oleh Youth Lab (sebuah lembaga studi mengenai anak Muda Indonesia) di lima kota
besar di Indonesia yakni Jakarta, Bandung, Makasar, Medan, dan Malang. Dari riset
itu, didapati bahwa generasi millenials
memiliki karakter yang jauh lebih kreatif dan informatif. Generasi tersebut
juga memiliki cara pandang yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Lima kota
tersebut dipilih karena dinilai menjadi indikator dinamika tren saat ini. Riset
tersebut dilakukan dengan berhadapan dan mengikuti langsung kegiatan para millenials, serta mewawancarai
kelompok-kelompok millennials yang
menjadi trendsetter. Oleh karena itu,
Generasi millennials patut kita
nantikan kiprahnya saat bonus demografi Indonesia tahun 2020.
Dari
segi pendidikan, generasi ini lebih unggul dibandingkan generasi sebelumnya.
Pada generasi sebelumnya, masih kita temui orang-orang dengan latar belakang
pendidikan tamatan Sekolah Dasar bahkan ada yang sama sekali tidak mengenyam
bangku pendidikan. Sedangkan generasi millennials,
meskipun masih ada yang hanya tamatan Sekolah Dasar, angkanya cenderung menurun.
Hal tersebut juga tidak lepas dari peran pemerintah yang mencanangkan program
wajib belajar. Selain itu, generasi tersebut juga mendapat kurikulum dan
pelayanan pendidikan yang lebih baik karena peningkatan mutu pendidikan yang
terus disempurnakan. Bisa dikatakan juga bahwa selama ini generasi millennials adalah generasi terbaik
dalam hal perolehan pendidikan.
Selain mutu pendidikan yang membaik,
generasi ini mempunyai minat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Generasi tersebut
sadar betul bahwa pendidikan merupakan prioritas yang utama. Bahkan lebih dari
itu, Generasi ini tidak hanya berpuas diri selesai pada S1 (sarjana), sebagian malah
berkeinginan untuk melanjutkannya pendidikannya ke jenjang S2 (magister) maupun
S3 (doktoral).
Dari
segi pola pikir generasi tersebut memiliki perbedaan dengan generasi sebelumnya.
Generasi ini dilahirkan dan dibesarkan
pada saat gejolak ekonomi, politik, dan sosial melanda Indonesia. Deru
reformasi mampu memberikan dampak yang mendalam bagi generasi millennials. Generasi tersebut tumbuh
menjadi individu-individu yang open minded, menjunjung
tinggi kebebasan, kritis dan berani. Hal tersebut juga didukung dengan kondisi
pemerintahan saat ini yang lebih terbuka dan kondusif.
Ciri
yang paling menonjol dari generasi millennials
adalah penguasaan pada bidang teknologi dan informasi. Generasi ini merupakan
generasi yang melibatkan teknologi dalam segala aspek kehidupan. Bukti nyata
yang dapat diamati adalah hampir seluruh individu dalam generasi tersebut
memilih menggunakan ponsel pintar. Apakah ini hal negatif ? Tentu saja tidak.
Dengan menggunakan perangkat tersebut para millennials
dapat menjadi individu yang lebih produktif dan efisien. Dari perangkat
tersebut mereka mampu melakukan apapun dari sekadar berkirim pesan singkat, mengakses
situs pendidikan, bertransaksi bisnis
online, hingga memesan jasa
transportasi online.
Generasi
millennials memiliki peluang dan
kesempatan berinovasi yang sangat luas di era ini. Terciptanya ekosistem
digital berhasil menciptakan beraneka ragam bidang usaha tumbuh menjamur di
Indonesia. Hal ini bisa kita lihat dari munculnya berbagai startup, salah satunya adalah Go-jek.
Dengan inovasi ini, Nadiem Makarim yang juga merupakan bagian dari generasi millennials Indonesia berhasil
menciptakan sebuah solusi untuk mengatasi kemacetan di kota-kota besar,
terutama DKI Jakarta. Selain itu Go-jek berhasil
memberi dampak ekonomi yang besar bagi tukang ojek yang terlibat di dalamnya.
Ditambah kehadiran bisnis e-commerce karya
millennials Indonesia seperti Tokopedia.com dan
Bukalapak.com yang mampu
memfasilitasi millennials yang
memiliki jiwa wirausaha untuk semakin berkembang. Berbagai contoh inovasi inilah yang membuktikan
bahwa generasi millennials Indonesia
mampu mewujudkan kemandirian secara ekonomi.
Setelah
melihat berbagai paparan tersebut, akhirnya kita mengenal siapa sebenarnya
generasi millennials. Perlu diingatkan
kembali bahwa generasi millennials
adalah individu-individu yang akan berkompetisi dalam bonus demografi Indonesia
pada tahun 2020. Generasi tersebut adalah generasi terbaik dalam segi
pendidikan yang memosisikan pendidikan
sebagai prioritas utama, Pola pikir yang terbuka, bebas, kritis, dan berani adalah
suatu modal yang berharga bagi bangsa Indonesia. Ditambah penguasaan dalam
bidang teknologi, tentu akan menumbuhkan peluang dan kesempatan berinovasi
di era ini.
Kembali pada pertanyaan awal
dalam tulisan ini, mampukah generasi millennials
menghadapi tantangan bonus demografi sekaligus mewujudkan kemandirian bangsa? Pasti
mampu, dengan catatan generasi millennials
harus menyadari akan potensi-potensi yang telah dipaparkan sebelumnya. Jika
generasi ini mampu menyadari berbagai potensi yang dimiliki akan timbul sikap
optimistis. Sikap tersebut sangat penting guna menghadapi gejolak bonus
demografi yang akan terjadi dalam waktu dekat. Selain itu, upaya ini akan
mubazir jika pemerintah dan berbagai komponen pendukung tidak turun tangan.
Peranan pemerintah
melalui berbagai kebijakan dan regulasi untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia dan kepemudaan sangat diperlukan. Jika demikian, generasi millennials akan semakin berkembang dan
berkompeten untuk menghadapi tantangan ini. Hal tersebut akan semakin efektif
apabila setiap pihak mampu bersinergi untuk mewujudkan apa yang kita upayakan
bersama. Akhirnya, Bangsa Indonesia
patut optimistis terhadap berbagai potensi yang dimiliki oleh generasi millennials. Oleh karena itu, generasi ini adalah modal besar untuk mewujudkan
kemandirian bangsa dalam segala aspek. Berkaryalah generasi millennials, mandirilah bangsaku!
Daftar Pustaka
Sebastian, Yoris. 2016.” GENERASI
LANGGAS MILLENIALS INDONESIA” Jakarta : Gagas Media
M.y, Rahmah. 2017. “PENGALAMAN NEGARA JEPANG MEHADAPI BONUS
DEMOGRAFI” dalam https://www.academia.edu/27608425/PENGALAMAN_NEGARA_JEPANG_MENGHADAPI_BONUS_DEMOGRAFI.
Diakses 13 Januari 2017
Wikipedia. 2017 “Millennials”
dalam https://en.wikipedia.org/wiki/Millennials. Diakses 12 Januari 2017
Wikipedia. 2017. “Theory of generations” dalam
https://en.wikipedia.org/wiki/Theory_of_generations. Diakses 12 Januari 2017
0 komentar:
Posting Komentar